Jumat, 14 Desember 2012

Bawean Pulau Damai Selalu



"Bunga teratai di tengah lautan". Begitulah perumpaan Pulau Bawean, yang letaknya berada di tengah-tengah Laut Jawa.

Ombak menerjang, angin mengempas, hujan mengguyur, dan sinar matahari menyengat, namun pulau mungil yang berada di 80 mil sebelah utara Pelabuhan Gresik itu tetap tak tergoyahkan.

Dulu Bawean dikenal dengan sebutan "Pulau Puteri" karena mayoritas penduduknya kaum perempuan. Kaum lelaki Bawean umumnya merantau ke negeri seberang.

Tapi sekarang julukan Pulau Puteri sudah jarang terdengar, lantaran kaum hawa Bawean sudah banyak yang merantau pula ke luar negeri, bahkan sebagian diantaranya sudah menjadi penduduk tetap negeri jiran, seperti Malaysia dan Singapura.

Budayawan Bawean, Cuk Sugrito, mengemukakan masyarakat Bawean dikenal teguh memegang tradisi dari nenek moyang termasuk perilakunya yang agamais.

Ritual keagamaan yang menjadi tradisi Bawean, seperti perayaan Molod, Saksakbenan, Mamaleman Kanak-kanak, dan Silaturahmi Lahir Batin pada Lebaran Idul Fitri telah menciptakan rasa kebersamaan antar keluarga dan masyarakat Bawean.

Ditinjau dari segi ekonomi, masyarakat Pulau Bawean boleh dikatakan di atas rata-rata, karena mayoritas penduduknya adalah kalangan perantau berhasil.

Di Pulau Bawean tidak ada pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan kaum penengadah lainnya, yang menghiba belas kasihan.

"Ini menunjukkan kentalnya kekerabatan antarmasyarakat di pulau ini. Bagi mereka yang punya rejeki akan membantu saudaranya yang kekurangan," kata pendiri Bengkel Seni Bheku Bhei-Bhei saat ditemui di kediamannya di sudut Alun-alun Sangkapura beberapa waktu lalu.

Keluarga yang bekerja di tanah rantau menjadi penyangga hidup anggota keluarga yang tinggal di Pulau Bawean.

Para perantau itu mampu mendirikan rumah dengan disain modern dengan bahan-bahan bangunan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Mereka juga mampu membeli mobil dan sepeda motor dengan biaya mahal, karena harus menambah ongkos kapal untuk mengangkut menyeberangi lautan.

Bahkan orang Bawean mampu menyulap jalan-jalan di pedesaan yang berbatu menjadi mulus dengan uang dari hasil memeras keringat di negeri orang.

Kendati bergelimang harta benda tak ternilai, di Pulau Bawean tidak ada pencopet, pencuri, dan perampok profesional. Hampir setiap malam berbagai jenis kendaraan, seperti mobil dan sepeda motor dibiarkan berada di luar rumah dalam keadaan tak terkunci.

Bahkan seorang perwira polisi dari Jawa yang baru bertugas di Pulau Bawean sempat dibuat terheran-heran ketika mendapati sebuah sepeda motor keluaran terbaru ditinggalkan oleh pemiliknya di pinggir jalan raya selama lima hari dan empat malam.

"Sepeda motor itu tetap berada di tempatnya, tidak berpindah sedikitpun, kecuali hanya ban depannya yang hilang," ujar anggota Polsek Sangkapura itu mengingat kejadian yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Demikian dengan berbagai jenis hewan peliharaan, seperti ayam, itik, domba, dan sapi bebas berkeliaran tanpa ada perasaan takut hilang yang menghinggapi pemiliknya.

"Sungguh hidup di Pulau Bawean ini bagaikan tidur berselimut kedamaian," kata Cuk Sugrito yang kedua orang tuanya berasal dari Jawa itu.

Sangat masuk akal jika di pulau berpenduduk sekitar 69 ribu jiwa ini tidak ada penjahat, karena cepat atau lambat pelakunya pasti akan tertangkap lantaran luas pulau yang hanya sekitar 194,11 kilometer persegi dengan dikelilingi jalan lingkar sepanjang 55 kilometer.

Apalagi jadwal perjalanan kapal penumpang dari Pulau Bawean menuju ke Pelabuhan Gresik hanya dua kali dalam seminggu dan kapal barang hanya satu kali dalam dua minggu.

"Jadi sangat tidak mungkin bagi penjahat yang hendak melarikan hasil kejahatannya ke luar Pulau Bawean. Apalagi ombak di sekitar Pulau Bawean relatif besar," kata Cuk Sugrito menduga-duga.

Orang Bawean selalu menyapa pada siapa saja, terutama jika berpapasan di jalan. Terhadap orang yang belum dikenalinya, orang Bawean tidak segan-segan menyapanya terlebih dulu kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan daerah asal.

Lebih lanjut Cuk Sugrito memaparkan, kendati Bahasa Bawean serumpun dengan Bahasa Madura, namun orang Bawean jauh berbeda dengan orang Madura.

Di Pulau Bawean tidak ada Karapan Sapi, Tari Remo, nyanyian Tanduk Majeng, senjata tajam berupa celurit, dan identitas lain yang biasa melekat pada diri orang Madura.

Kesenian yang berkembang di Pulau Bawean seperti Jibul, Tari Mandiling, Tari Saman, Korcak, Pencak Silat, Dikker, dan Kercengan justru lebih dekat dengan budaya Melayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar